AJARAN
BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN
BAKTI PUJA
Sebagaimana
kita
ketahui, banyak agama-agama di
dunia
ini
yang
memfokuskan perhatiannya tehadap pemujaan pada
tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para
umat buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh buddha
atau siddharta gautama sebagai
seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa penecerahan dari penderitaan dan
keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat buddha untuk berhubungan dengan buddha
adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang
lain dapat memuja
kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya
dan sanak keluarganya.
Telah dijelaskan pula bahwa dalam agama buddha
tidak mengenal konsep ketuhanan yang maha
esa, yang ada adalah nibbana atau kesempurnaan sejati. Nibbana bisa
dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur
Delapan. Tentu saja
akan timbul pertanyaan dalam diri
para
umat serta simpatisan Buddhis
bahwa
apabila
Nibbana atau
Tuhan
dalam
Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat,
lalu bagaimanakah umat
Buddha seharusnya berdoa? Ini akan
kita bahas dalam bhakti puja.
Agama buddha adalah religi humanitis, berpusat pada
diri manusia sendiri dengan segala
kekuatannya yang
dapat dikembangkan hingga mencapai kesempurnaan. Berbeda dengan
religi otoriter, yang menghendaki penyerahan, kepasrahan atau ketergantungan terhadap kekuatan
diluar manusia.
pembahasan
A. Konsep Ketuhanan Buddha
Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang
terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang
tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup
bukan untuk kembali kepada
asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan
tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang
tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi
damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme
adalah suatu agama. Buddhisme
adalah suatu falsafah, suatu usaha
akal manusia
untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang
sistematis mengenai sebab dan
akibat. Akan tetapi pendapat yang
demikian adalah keliru. Memang harus diakui
bahwa
sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang
ada
adalah nirwana, pemadaman,
situasi padam, bukan tokoh yang
memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang
pemberi hukum, tata tertib, baik
yang alamiah
mauun yang
moril. Tiada gambaran tentang yang
disembah
dan yang
menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-
beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang
bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang
mutlak, yang
sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi
dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang
tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan
sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama
buddha tuhan tidak dipandang
sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat
antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme
(pengenaan
pengertian yang berasal dari
perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan
teisme fatalistis
dan determinis yang menempatkan suatu
kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme
semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia
dan
dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral
perbuatan
manusia .
· Buddha
Trasenden
Bagi mereka yang
menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang
hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau
perwujudan tuhan yang maha esa
dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana
menyebutkan ada 10
awatara,
dan buddha adalah awatara yang kesembilan2[2].
Thuben chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara
yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang
dilahirkan sebagai manusia yang
kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang
sekaligus
memberi
contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan
memahami
buddha sebagai
manifstasi keluhuran yang
trasenden, yang
muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang
masing-msing
menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai
kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara
yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki
potensi untuk menjadi buddha.
· Trikaya
Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut.
Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak
dibatasi olh ruang dan
waktu, bukan realitas
personifikasi, esa,
beban
dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh
dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan
dalam dunia
yag
bersifat relatif dimungkinkan
jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh
segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk
menyelamatkan dunia.
Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya
dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu
tubuh
cahaya,
sering
dinyatakan
dalam
perwujudan surgai yang
dapat
dilihat oleh
makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang
buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki
tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk
mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya
yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia
biasa. Buddha gotama sebagai
buddha historis adalah
wujud nirmanakaya.
· Adi Buddha
Dalam agama
buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada
satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi
buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal
dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha
buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar
lewat
benggala,
hinnga dikenal pula
di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial, yang
esa atau dinamakan juga paramadhi
buddha (buddha yang pertama
dan
tiada banding). Adi buddha
timbl dari kekosongan
(sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga
disebut visvarupa serta
namanya
pun tidak terbilang banyaknya. Adi
buddha sering diidentifikasikan
sebagai salah satu
buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama
menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha
terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana,
maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi
buddhodharta sri kalacakra
sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda.
Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-
pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah
RI no. 21 tahun 1975 (tentang
sumpah/janji pegawai negri sipil),
menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi
mereka yang
beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi
buddha”.
· Manifestasi
Keyakinan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda
adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini
membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara
kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa tuhan yang
maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua
rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai
kepadanya. Karena tuhan yang
maha esa itu
juga
maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang
percaya dan memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-
sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta
kasih (metta), welas asih (karuna), simpati
(mudita) dan keseimbangan
batin (upekkha).
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan
mengatur alam
smesta, serta melindungi
mereka yang
melaksanakan kebenaran
membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang
hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa
dekat dengannya dalam kehidupan
sehari-hari,
didunia luar hingga
hati.
Beriman itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha
untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak
melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang
bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah
hati, bekerja tanpa
suka mencela, suka
berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan
dalam Agama
Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa
dalam masyarakat pada umumnya
terdapat
dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta
masih banyak
lainnya.
Pendekatan kedua,
tuhan
dikenal melalui
sifat manusia. Misalnya, tuhan
marah, tuhan cemburu,
tuhan
mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara
di atas. Agama buddha
menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala
sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana
atau tuhan dalam agama buddha
adalah yang tidak terlahirkan, yang
tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta
masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana
adalah mutlak, tidak ada
kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa
manusia untuk menceritakan segala
sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang
tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang
khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang
jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada
si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera
menganggukkan
kepada penuh pengertian.
B. Konsep Bhakti
Puja dalam Buddha
Dharma
Banyak orang
sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan
sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah
sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua
suku kata yaitu
sembah berarti
menghormat dan
hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang
berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang
diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak
melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun
menyembah para dewa. Umat buddha
mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun
umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini
mempunyai pengertian ada permintaan yang
disebutkan ketika seseorang sedang berdoa6[6]. Umat buddha
tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada
pihak lain. Keterangan
ini
jelas
menegaskan
bahwa
umat buddha
bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha,
arca yang
lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang
melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang
bermakna menghormat dan bakti yang
lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup
yaitu umat
datang, masuk ke ruang
penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala.
Kebiasaan bersujud
ini dilakukan karena sang buddha
berasal dari India. Sudah menjadi
tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India
bahwa ketika seseorang
bertemu dengan mereka yang
dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan
dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk
mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud
di
depan
altar ataupun arca Sang
Buddha
hanyalah bagian dari
tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja
tidak melakukannya apabila
batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang
berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat
baik dengan
badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud,
umat buddha dapat duduk bersila di tempat
yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang
buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang
buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang
buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama
seseorang mengenal dhamma,
semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang
diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik
pula dalam tindakan, ucapan maupun
pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling
mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta
di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang
sedang
berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi
ia
tidak
tidur. Diharapkan,
dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta
kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula
dalam salah satu bait sutta
tersebut bahwa jangan karena
marah dan benci mengharapkan orang
lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam
dan layak dilaksanakan. Dengan mampu
melaksanakan satu
baris ini saja dalam kehidupan,
maka batin seseorang
akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi
yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang
mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia
hadir dan berkumpul
maka ia akan selalu membawa
kebahagiaan
untuk lingkungannya.
Itulah makna
sesungguhnya
dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan
ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar
apabila umat buddha mempunyai keinginan atau
permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang
dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat
kebajikan, ia
dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang
diharapkan.
· Berdoa Bukan Meminta
Doa yang
paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun
mengandung pujian, biasanya diikuti
dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan,
kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu,
sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah7[7]. Kepada
anathapindika, buddha
pernah mengemukakan bahwa
kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima
hal
itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada
doa
atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha
melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga
menyogok, dan menuntut. Jika
doa diartikan meminta, dan ternyata yang
diharkan sesorang
tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa
jengkel
dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan
berkah tuhan, kasih
buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha
selalu melindungi, buddha
selalu memancarkan kasih
sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh
doa dalam syair shanti deva (abad
ke 7).
Semoga
aku
menjadi penwar
rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga
aku
menjadi dokter
dan perawat bagi semua orang
sakit
Semoga
aku
dapat memberi
makan
dan minum semua yang
menderita
lapar
dan kehausan
Semoga
aku
menjadi mestika yang tak ternilai
bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka
yang
dicampakan terlantar
dipinggir
jalan Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi
elita
penerang
bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai
tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta,
malah
menunjukan untuk bisa memberi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar