MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah
“HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA”
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh,MA
Disusun Oleh :
SITI KUSNIYATUS
SAYIDAH (1113032100074)
MUHAMMAD
NAJIBUDDIN (1113032100067)
ACHMAD TEDI
ANWAR (1113032100077)
ABDUL ROSID
(1113032100082)
AGUNG SAPUTRA
(1113032100066)
PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
PENDAHULUAN
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang
tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu
nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang
tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi
(personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang
berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang
berasal dari perasaan manusia). Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama
buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang
tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada
asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu
suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran,
suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi
damai.
Dalam
agama Hindu, hanya ada satu Allah yang di puja melalui berbagai bentuk dan
cara. Allah yang satu ini disebut Brahman. Brahman adalah roh yang paling
tinggi , diluar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Brahman
dapat dijumpai diseluruh alam semesta. Dia di atas segalanya. Dia adalah asal
dari segala ciptaan hakikat, rahasia, hakikat suka cita, dan sang sejati).
Selain Allah, orang Hindu juga mempercayai adanya para dewa, yang dihormati dan
disembah oleh mereka. Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi)
(sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam
beserta isinya.
I.
AJARAN HINDU DHARMA TENTANG KETUHANAN
A.
Konsep
Tuhan/Dewa
Dalam
agama Hindu Tuhan merupakan asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua
ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk dewa-dewa dan yang lainnya.
Tuhan merupakan prima causa yang adanya bersifat mutlak karena harus ada
sebagai asal atau sumber atas semua yang ada. Tanpa ada Tuhan tidak ada ciptaan
ini. Kata ini juga mencakup pengertian materi dan non materi. Semacam definisi
yang kita jumpai didalam kitab suci mengemukakan bahwa sifat sebenarnya
daripada Tuhan adalah ”SATYA- PENGETAHUAN- TIDAK TERBATAS” yang diucapkan dalam
satu kerangka MANTRA kepada BRAHMAN (Tuhan) sebagai berikut :
SAT CITTA ANANDA BRAHMAN = (sesungguhnya) Tuhan adalah
KEBENARAN-PENGETAHUAN-TAK TERBATAS. Dalam ilmu mantra adagium itu merupakan
semacam definisi yang tetap dipakai. Hanya sebagai mantra ditambahkan pranawa
ongkara didepannya, sehingga akan terbaca “Om, Tat Sat Citta Ananda Brahma”
adapun pranawa omkara atau Ongkara adalah kata OM.[1]
Dalam agama Hindu, hanya ada satu Allah yang di puja melalui berbagai
bentuk dan cara Tuhan yang satu ini disebut Brahman. Brahman adalah roh yang
paling tinggi , diluar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh waktu dan ruang.
Brahman dapat dijumpai diseluruh alam semesta. Dia di atas segalanya. Dia
adalah asal dari segala ciptaan hakikat, rahasia, hakikat suka cita, dan sang
sejati). Selain Allah, orang Hindu juga mempercayai adanya para dewa, yang
dihormati dan disembah oleh mereka. Konsep agama hindu mengenai ketuhanan dapat
digolongkan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: Monisme (paham yang beranggapan
bahwa semua kehidupan adalah zat); Panteisme (paham yang beranggapan bahwa
semua kehidupan bersifat ketuhanan); Panenteisme (paham yang beranggapan bahwa
Tuhan adalah ciptaan jiwa dalam suatu tubuh); Animisme (paham yang menganggap Tuhan
adalah dewa-dewa yang hidup dalam objek: bukan manusia, pohon, batu, atau
binatang); Honoteisme (paham yang percaya kepada satu dewa yang dipuja dalam
banyak keberadaan); dan Monoteisme (paham yang bercaya hanya kepada satu
Tuhan).[2]
B.
TRIMURTI
Secara luas,
Hindu dapat dikatakan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Kelompok
Siva, Kelompok Sakta atau mereka yang memuja sakti pendamping Siva
dan Vaisna atau mereka yang memuja visnu. Namun theologi Hindu
popular yang berakar dalam kitab suci kuno menambahkan devata penting
lainnya yaitu Brahma. Ketiganya ini Brahma,visnu,dan siva bersama-sama
membentuk trimurti (trinitas) Hindu. Brahma menciptakan dunia, Visnu memeliharanya
dan Siva memusnahkannya. Bila dunia merupakan suatu mitos seperti
pernyataan dari beberapa bentuk ekstrim dari filsafat Advaita Vedanta, maka
tak akan ada theologi sehingga masalah theologis juga tak kan akan ada.[3]
Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman
(Sang Hyang Widhi) (sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan,
memelihara, melebur alam beserta isinya.
Trimurti terdiri dari 3
yaitu:
Dewa Brahma
Fungsi: Pencipta /
Utpathi
Sakti: Dewi Saraswati
yang merupakan dewi ilmu pengetahuan
Senjata: Busur
Dewa Wisnu
Fungsi: Pemelihara / Sthiti
Sakti: Dewi Laksmi atau Sri
Senjata: Cakram
Dewa Siwa
Fungsi: Penghancur / Pralina
Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati
Senjata: Trisula
Apabila simbol dari
ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ॐ ) yang
merupakan simbol suci agama Hindu.[4]
C.
SEMBAHYANG
Sebagai umat manusia
yang beragama yang menjunjung tinggi keagamaan dan kemahakuasaan Tuhan,
sepatutnya kita menyadari bahwa seseungguhnya dalam diri kita terdapat atman
atau jiwa yang merupakan percikan sinar suci Ida Sang Hyang Widi Wasa atau
Tuhan yang maha esa. Tanpa adanya atman dalam diri kita, pastilah kita tidak
bisa hidup. Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kita sebenarnya mempunyai
hutang kepada Tuhan yang maha agung. Mereka yang menyadari adanya hutang
termaksud diatas tentunya perlu dan patut membayar kembali hutang tersebut.
Cara paling mudah untuk membayar kembali hutang itu adalah dengan selalu ingat,
selalu sujud dan bakti kepada Tuhan, selalu mengagungkan kekuasaan dan
kebesaran-Nya. Semua ini dapat direalisasikan dengan cara bersembahyang.
Dengan
bersembahyang, umat hindu bukan saja akan dapat membayar kembali hutangnya,
tetapi juga dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, seraya menyerahkan diri secara
tulus dan ikhlas kepada kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dengan bersembahyang umat
manusia akan menjadi lebih tenang, lebih tentram dan bahkan merasa damai
dihati. Dengan melaksanakan sembah sujud dan bakti dengan tulus dan ikhlas
secara berkesinambungan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, kitapun akan
memperoleh tuntunan, pertologan dan perlindungan-Nya.
Manfa’at Sembahyang:
Dalam rangka usaha untuk melaksanakan pembinaan diri, berikut
disampaikan dengan lebih spesifik dan rinci manfa’at bersembahyang:
a.
Sembahyang
dapat menunjukkan rasa keikhlasan diri. Dengan tekun sembahyang, seseorang
sebenarnya telah dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Mereka yang
rajin bersembahyang akan menerima semua coba’an dan ujian Tuhan secara tulus
dan ikhlas.
b.
Sembahyang
yang dapat meningkatkan rasa aman dan menumbuhkan ketentraman jiwa. Mereka yang
rajin bersembahyang akan selalu merasa dekat dengan Tuhan mereka juga akan
selalu merasa ditolong dan dilindungi oleh-Nya. Karena itu mereka akan selalu
merasa aman dan tentram.
c.
Dengan
bersembahyang, maka diri kita tidak akan diperbudak lagi oleh materi atau harta
benda. Mereka yang rajin bersembahyang akan lebih mudah mengendalikan dirinya,
lebih mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka bisa memilih dan
memilah mana benda yang benar-benar bermanfa’at dan mana yang dapat
menyengsarakannya.
d.
Dengan
rajin bersembahyang, maka rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama dan
dirinya sendiri akan menjadi lebih meningkat. Orang yang rajin bersembahyang
akan semakin besar rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya maupun
terhadap orang lain.
e.
Dengan
bersembahyang, maka secara tidak disadari alam semesta inipun akan menjadi
lebih lestari. Sembahyang memerlukan sarana seperti bunga, buah-buahan,
daun-daunan dan sebagainya. Ini akan menyebabkan seseorang menjadi tertarik
untuk menanam dan memelihara pohon-pohonan, sehingga alam akan menjadi semakin
terpelihara.
f.
Sembahyang
dapat pula memelihara kesehatan seseorang. Dengan melakukan asana atau sikap
duduk padmasana., dimana tulang punggung, leher dan kepala harus tegak lurus
(tidak membungkuk), kemudian dengan pranayama atau pengaturan nafas dengan
sikap batin yang hening, tenang dan suci, akan menjadikan tubuh seseorang
semakin sehat.[5]
Salah satu ciri
orang beragama adalah melakukan pemujaan pada Tuhan. Bagi umat Hindu di Bali
pemujaan itu disebut sembahyang. Dalam agama Hindu mengenal dua sembahyang
yaitu sembahyang sendiri yang disebut Ekanta dan sembahyang dengan cara
bersama-sama atau berkelompok disebut Samkirtanam.[6]
Dalam
melaksanakan persembahyangan umat Hindu diwajibakan mempergunakan sarana
tertentu sebagai persembahan, serta sujud dan bhaktinya kehadapan Ida Sang
Hyang Widi Wasa. Ada dua acuan utama yang dipakai sebagai dasar untuk
menentukan sarana persembahyangan termaksud. Acuan pertama adalah Bhagavadgita
Bab IX Sloka 26 yang berbunyi : “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya
prayacchati tad aham bahkty-upahrtam asnami prayatatmanah”.
Artinya :
Siapapun yang dengan tulus ikhlas
mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan atau air yang disampaikan
dengan cinta kasih dan hati yang suci, aku terima.
Sikap badan ketika bersembahyang :
Sebelum
melaksanakan sembahyang, kita harus bersikap Asucilaksana yakni mensucikan diri
dengan tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak baik, tercela ataupun
perilaku tidak terpuji lainya disamping itu badan atau tubuh, fikiran dan jiwa
kita pun harus benar-benar suci, bersih dan hening. Tubuh dapat dibersihkan
dengan air (mandi). Sesudah itu pergunakanlah pakaian yang bersih. Kemudian
fikiran dapat disucikan dengan cara melaksanakan ajaran agama, selalu
memikirkan hal-hal yang baik dan benar. Selanjutnya jiwa dapat disucikan dengan
mengikuti pelajaran spiritual, tapa brata dan atau mempelajari pengetahuan
tentang kebenaran.
Sikap badan
atau asana pada waktu bersembahyang dapat diatur seperti dibawah ini :
1.
Dengan
cara duduk bersila (padmasana), untuk laki-laki
2.
Dengan
cara duduk bersimpuh (Bajrasana), untuk wanita
3.
Dengan
cara berdiri (padasana) dengan memperhatikan situasi atau kondisi setempat.
Sikap Batin :
Dalam bersembahyang kita hendaknya selalu berusaha untuk menjaga
sikap batin sebagaimana diuraikan di bawah ini:
1. Bersikap
tenang dengan hati yang suci.
2. Percaya
sepenuhnya terhadap adanya Tuhan.
3. Penyerahan
diri secara total dan tulus ikhlas kepada-Nya.
4. Sembahyang hendaknya tidak
mempunyai tujuan untuk memperoleh mukjizat atau kesaktian.
Sikap Tangan :
1. Bersembahyang kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, kedua tangan
dicakupkan diatas dahi, sehingga ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun.
2. Bersembahyang kehadapan para dewa (Dewata), cakupan jari tangan
ditempatkan di tengah-tengah dahi dengan ujung kedua ibu jarii tangan berada di
antara kedua kening.
3. Bersembahyang kehadapan pitara, cakupan jari tangan ditempatkan
di ujung hidung, dengan kedua ujung ibu jari tangan menyentuh hidung.
4. Bersembahyang kehadapan Bhuta, cakupan tangan diletakkan di hulu
hati, dengan ujung jari tangan mengarah ke bawah.
Sembah puyung adalah sembahyang kehadapan Tuhan, jadi mengikuti
cara butir satu diatas yaitu berupa
tangan dicakupkan diatas dahi sehingga ujung jari berada diatas ubun-ubun.[7]
II.
AJARAN BUDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN
A.
PERKEMBANGAN
KONSEP KETUHANAN
Buddha telah mencapai pencerahan
sempurna, dengan demikian buddha menghayati dan memahami ketuhanan dengan
sempurna pula. Budha bersabda bahwa ada yang tidak terlahir, yang tidak
terjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak (Udana VIII:3). Yang mutlak itu ESA
adanya, disebut asamkhaata-Dhamma, Dhamma yang absolut, yang tak terkondinisi.
Dengan adanya yang mutlak yang tak terkondisi, maka manusia yang terkondisi
(samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari lingkaran kehidupan-kematian
(samsara).
Ketuhanan yang Maha Esa dapat
dihayati melalui hukum-hukum Damma yang berlaku dialam semesta. Hal ini ibarat
udara. Apakah udara itu ada? Ya, tentu saja. Akan tetapi, mana udara itu?
Bisakah dipegang? Bisakah dilihat? Bisakah didengar? Tentu saja tidak. Walau
demikian, kita bisa memastikan bahwa udara itu ada dari gejala-gejalanya,
seperti nyiur yang melambai, asap yang bergerak, debu yang berterbangan, dan
lain-lain.
Dengan adanya hukum-hukum damma,
unsur imanen dari ketuhanan yang Maha Esa tidak lenyap sama sekali, namun
ajaran buddha menekankan unsur transenden dari ketuhanan yang Maha Esa. Semua
yang bersifat transenden adalah tidak terkonsepkan. Mereka harus dipahami
secara langsung (intuitif) melalui pencerahan, bukan melalui konsep. Akan
tetapi, hal itu sulit dilakukan. Karena kesulitan itu, ada yang berusaha
memahami dengan pendekatan konseptual. Tidak terelakan, ketika manusia
berbicara mengenai konsep ketuhanan, diperlukanlah nama. Salah satu nama yang
digunakan dalam ajaran Buddha “Adi Buddha”. Dalam kitab-kitab Buddhis berbahasa
kawi jawa kuno, nama-nama lain dari adi Budha adalah Advaya, Diwarupa, dan
Mahavairocana. Sebutan lain Adi Buddha adalah Vajradhara (Tibet-Kargyu dan
gelug), Samantabhadra (Tibet-Nyingma), dan Adinatha (Nepal). Adi buddha
merupakan realitas absolut atau kebenaran mutlak, bukan suatu personifikasi.
Adi buddha tak lain adalah DammaKaya, Tubuh Dhamma yang absolut. Dhammakaya
bersifat kekal meliputi segalanya, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ada
dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang berlawanan, bebas dari pertalian
sebab akibat.
Konsep ketuhanan menurut ajaran
Buddha ini perlu dipahami dengan benar, mengingat masih banyak yang mencampuradukkan
dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain.[8]
Tak
dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam
kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan.
Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk
masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa
perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak
lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh
karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah
suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk
mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan
akibat. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui
bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah
nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan
tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan
tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada
gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian,
dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia
akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran
agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda.
Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang
sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri,
rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha
mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak
terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan
sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam
agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak
bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia)
dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha
tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu
kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme
semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya
juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
Buddha
Trasenden :
Bagi
mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga
sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan
atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab
purana menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan.
Thuben
chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara
yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai
manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang
sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami
buddha sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai
bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing
menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua
manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya
sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua
memiliki potensi untuk menjadi buddha.
Trikaya :
Hakikat
kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi
segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi,
esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari
pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata
(tathagata garbha).
Keterlibatan
dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang
berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh
segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia. Tubuh
yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh
rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat
dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan
dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para
boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia.
Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis
adalah wujud nirmanakaya.
B.
KONSEP
ADI BUDHA
Catatan
sejarah agama Budha Indonesia, dimulai pada Tahun 414 M, Sewaktu kunjunagan
seorang biksu dari Tiongkok, bernama FA HSIEN, menurut bikhhu tersebut, bahwa
agama. buddha telah berkembang di Pulau Jawa. Kedatangan bikku itu disusul pula
dengan kedatangan seorang bikku berdarah bangsawan dari kasmir, bernama
Gunawarman.
Istilah
ADHI BUDDHA digunakan untuk menamakan sumber kebudaan dan istilah ini ditemukan
dipulau Jawa (Indonesia) maupun di Nepal dan Tibet. Istilah ini dianggap
berasal dari agama Buddha Mahayana di benggala. Di nepal disamping istilah adi
buddha juga dikenal istilah adinata yang berarti pelindung utama atau
svayambhulokanatha yang berarti pelindung jagat yang tidak dilahirkan bukti
pertama konsep Adi Buddha ini terdapat dalam Kitab “NAMA SANGITI” hasil karya
Bikhhu Indonesia yang bernama Chandrakirti. Sang Hyang Adi Buddha adalah Tuhan
yang Maha Esa, karena menurut agama Buddha Sang Hyang Adi Buddha itu Maha Esa,
Maha Ghaib, Maha Suci, Maha Bijaksana, tidak berawal dan tidak berakhir, ada
dimana-mana, tidak terbatas, tidak dilahirkan, dan tidak dapat difikirkan oleh
akal fikiran manusia yang serba terbatas.
Kemahakuasaan
Sang Hyang Adi Buddha dimanifestasikan kedalam hukumnya yang disebut Hukum
kesunyataan. Hukum kesunyataan ini adalah hukum Tuhan yang Maha esa, yang kekal
abadi, yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Semua yang tercipta tunduk
kepada hukum kesunyataan ini, dan tidak ada seorangpun dan tidak ada seorangpun
yang dapat membebaskan dirinya dari berlakunya hukum kesunyataan ini. Melalui
hukum kesunyataan inilah Tuhan yang Maha Esa memperkenalkan kekuasaanya dan
tidak ada yang mampu menentang hukum kesunyataan ini, baik ia seorang manusia
ataupun dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[9]
Dalam
agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya
yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha.
”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha. Sebutan adi buddha berasal dari
tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang
menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi
buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi
buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari
kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut
visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering
diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte.
Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih,
yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat
tuhan yang satu.
Konsep
adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha
vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan
paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab
namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari
zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau
umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda.
Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana
peraturan pemerintah RI no. 21 tahun
1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan
sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah”
diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”. Manifestasi Keyakinan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan
terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah
pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat
pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan
ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran,
memelihara kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut
kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan
bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan
pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui
penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga
maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan
memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan
sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau
kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih
(metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin
(upekkha).
Keyakinan
terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai
dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran
membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari
kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa
merasa dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman
itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha
untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan
tidak melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus
dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang
bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari
keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka
berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan
uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu
dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua
cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena
itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar
doa umatnya serta masih banyak lainnya.
Pendekatan
kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan
cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis
lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha
tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau
penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi,
pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan,
yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak
terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau
nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda
ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala
sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya,
seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada
orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang
itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya,
apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin
terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah
dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah
melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan
kepada penuh pengertian.
C.
Konsep
Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak
orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang
di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah
sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti
menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti
menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka
umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat
yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan
para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha
juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang
disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat buddha tentu saja tidak pernah
meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas
menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak
pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan
kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat
buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti
ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih
diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung
sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang
penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan
untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau
berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari
India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur
termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati,
maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda
menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi
keakuan sendiri.
Karena
bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi,
maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya
tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk
arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk
bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah
memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang
telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat
yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang
buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai
kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang
mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah
sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam
tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah
satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca
karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara
memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu,
ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak
tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu
berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya
menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah
satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang
lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak
dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan,
maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa
dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu
mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka
ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah
makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan
ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak
sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha
mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya
dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha
agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk
mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk
melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran.
Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan
tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
Ø Berdoa Bukan Meminta
Doa
yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun
mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi
penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan.
Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam
mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi
sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah. Kepada
anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan
panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal
itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan
janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus
berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan
berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari
dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain
bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa
diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin
timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan
berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang
meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya
sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri,
buddha selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak
terbatas.
Contoh
doa dalam syair shanti deva (abad ke 7).
Semoga
aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga
aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga
aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga
aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga
aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga
aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga
aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti
deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak
akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa
memberi.
Ø Parrita dan Mantra
Parrita
adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa.
Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan
bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan.
Misalnya angulimala parritayang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal
dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang
diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang
menghadapi kesukaran melahirkan.
Selanjutnya
adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci
dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas
menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini
diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat,
yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku
kata.
Konsep
mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber
suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh
kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif
setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus
dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi
yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki
kekuatan.
Ø Persembahan
Berdoa
(bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara,
berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk
melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan
persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati
mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara
untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan
kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan
diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira
berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima
persembahan tanpa membawanya pergi.
Setiap
sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin
melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air
selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan
asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan
menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan
sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.[10]
Kesimpulan
Dalam Agama samawi (Yahudi, Islam, Kristen) TUHAN dipahami sebagai
suatu sosok PRIBADI Maha pencipta , maha kuasa yang mengatasi alam semesta yang
menciptakan dan berkuasa atas alam semesta beserta manusia didalamnya.
Dalam Agama Hindu TUHAN dipahami sebagai ACINTYA (yang tak
terpikirkan). Acintya dipahami sebagai kekosongan darimana alam semesta beserta
semua dewa (Brahma, Wisnu, Siwa) berasal bukan diciptakan dengan kata lain,
Acintya beremanasi menghasilkan seluruh alam semesta ini.
Dhamma/Dharma itu sendiri adalah Ketuhanan yang maha Esa dalam
ajaran Buddha. “Barang siapa melihat Damma ia melihat aku dan barang siapa
melihat aku dia melihat Dhamma”. (Buddha Gautama). Dhamma yang disebarkan oleh
Buddha Gautama dan direalisasi oleh siswa-siswa beliau yang telah bebas/suci,
itulah yang menuntun dan melindungi umat Buddha dalam hidup didunia.
Daftar Pustaka
·
Bhikku
Jinadhammo Mahatera. Jadilah Pelita Ajaran Universal Buddha. Sejuta Pelita
Sejuta Harapan, Panitia 50 Tahun MBI candi borobudur, 23 Juli 2005
·
Drs.
I Ketut Wiana, M.Ag, Sembahyang menurut Hindu, (Paramita, Surabaya:2006)
·
Drs.
K.M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Paramitha, Surabaya: 2004)
·
Harshananda
Svami. Dewa Dewi Hindu. Surabaya, Paramita 2007.
·
Majelis
Budayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma.
Jakarta 7 Agustus 1980
·
Pudja
Gede, MA, SH. Theologi Hindu(Brahma Widya). Mayasari-Jakarta. 1977
·
Suwarto
T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia,
1995
·
Tony
Tedjo, Mengenal Agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)
·
(Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Trimurti)
[1] Pudja
Gede, MA, SH. Theologi Hindu(Brahma Widya). Mayasari-Jakarta. 1977
[2] (Sumber:
Tony Tedjo, Mengenal Agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung:
2011)
[3]
Harshananda Svami. Dewa Dewi Hindu. Surabaya, Paramita 2007.
[4] (Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Trimurti)
[5] Drs. K.
M. Suhardana. Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya, Paramita 2004.
[6] Drs. I
Ketut Wiana, M.Ag, Sembahyang menurut Hindu, (Paramita, Surabaya:2006)
[7] Sumber:
Drs. K.M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Paramitha, Surabaya: 2004)
[8] Bhikku
Jinadhammo Mahatera. Jadilah Pelita Ajaran Universal Buddha. Sejuta Pelita Sejuta
Harapan, Panitia 50 Tahun MBI candi borobudur, 23 Juli 2005
[9] Majelis
Budayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma.
Jakarta 7 Agustus 1980
[10] Suwarto
T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia,
1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar