Resume Kelompok 2:
1. Siti
Kusniyatus Sayidah
2. Muhammad
Najibuddin
3. Abdul rosid
UPACARA, KELAHIRAN,
PERKAWINAN, DAN KEMATIAN DALAM AGAMA HINDU
1. Makna Kelahiran dan Upacaranya
Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam
rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap
seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur
Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam
menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami
yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk
pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa Yadnya
seperti :
1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 7 bulan .
Sarana :
1. Pamarisuda: Byakala dan prayascita.
2. Tataban: Sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayut pamahayu
tuwuh.
3. Di depan sanggar
pemujaan : benang hitam satu gulung kedua ujung dikaitkan pada dua dahan dadap,
bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah).
Waktu Upacara
Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari (7 bulan). Tidak
harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik. Tempat Upacara Garbhadhana
dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian
darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggar pemujaan
(sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita, Pinandita atau
salah seorang yang tertua (pinisepuh).
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang sedang
hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan
mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu menjunjung
tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan
yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo
runcing.
4. Si Suami sambil
menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si Istri sampai air
dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab
2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini
adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Sarana :
1. Dapetan, terdiri
dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah buahan.
2. Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk
kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang. Waktu Upacara
Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat
perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang
keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem)
ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan,
sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir
diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan
penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan
keselamatan.
2. Setelah ari-ari
dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan
kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya
ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada
bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan
aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas kendil atau
bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau kelapa
selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil
atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan
rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari
dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua
orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah
beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang
diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan
masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada
saat puser bayi lepas.
Sarana :
1. Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.
2. Banten kumara:
Hidangan berupa nasi putih kuning, beberapa jenis kue, buahbuahan (pisang
emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
3. Banten labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
4. Segehan empat buah
dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam. Masingmasing berisi bawang, jahe
dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus pusernya,
umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di
dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana Untuk
melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh),
atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
Tata Cara :
1. Puser bayi yang
telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam "ketupat
kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan
rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian
kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara
(pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam
ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat
warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
4. Tidak ada mantram
khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan dengan cara dan
kebiasaan masing-masing.
4. Upacara bayi
umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara
Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian
pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah
dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang
Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana Upakara yang kecil : Peras,
Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang biasa
(madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini hanya ditambah dengan
penebusan.
Upacara yang
besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen tegeh dan diikuti wali
joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur
genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu
di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk
melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.
Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya
dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan
ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok upacara yang ditujukan :
Kepada si ibu adalah: banten
byakaon dan prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan.
Kepada si bayi adalah: banten
pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit
pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya sama,
hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah untuk di dapur
· tumpeng hitam untuk di permandian dan
· tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara
lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng
dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk
pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan
si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
Sarana Untuk upacara kecil:
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan
pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.
Untuk upacara yang lebih besar
1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan
pabersihan.
2. Upakara untuk si
bayi : Banten pasuwungan, banten kumara, jejanganan, banten pacolongan untuk di
dapur, di permandian dan di sanggah kamulan serta tataban.
Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah,
di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk upacara
kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.
Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah
kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita
3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan
upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang
tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil
air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga). Upacara Tutug
Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang
tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang
dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi
disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong
dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian
terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama
kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian
ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada
waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan.
Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang
pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) - Niskramana Samskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan
dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara besar: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten
panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan
tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin
upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil
untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan
upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan
di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau
Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan
pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan
lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan
persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita
/ Pinandita.
5. Si bayi diberikan
tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi
diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan
keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai
kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita,
parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi ke bale agung
(ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih
besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, lis, banten pesaksi
ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah gembal
bebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada
saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi
(pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan
setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa,
semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. Pelaksana
Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara:
1. Pandita / Pinandita
sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap
Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap
Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan
terhadap leluhur.
4. Pemujaan saat
pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk wetonan
selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan saat
pawetonan dan persembahyangan.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini
bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
Sarana :
Upacara kecil : Petinjo kukus
dengan telor.
Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan
sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat Keseluruhan rangkaian
upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh seorang
pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan terhadap
Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon
keselamatan.
3. Selesai upacara si
bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya
digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu
pengetahuan.
Sarana :
1. Banten byakala dan sesayut tatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara
ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat Keseluruhan
rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara dipimpin oleh
keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut /
tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang
baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh
rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki), banten
padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/
putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui
perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki
perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak
putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah deha) ini.
Tempat Upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Dilakukan oleh Pandita /
Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai
terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan
natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali
keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, fase
anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya
dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini
anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang tua
memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang
tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi
komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase
tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar
/berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama
kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan
getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Bila
perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari
jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur
niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja
Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat
bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya
Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga, yaitu: Tapa
(pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal
kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas)
yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah
merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk memohon
kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa) dalam menifestasinya
sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat
mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa pancaroba ini
seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan dari Sad Ripu
yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan), Moha
(kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati).
Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan
wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun
yang akan diperbuatnya akan berakibat juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu
tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan dimasyarakat. Dia
harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal
ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga
menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.
Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan seseorang dapat
meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah mana yang
baik dan mana yang buruk.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri
si manak.
Sarana :
1.Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2.Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi
beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta
sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3. Sajen peras daksina,
ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang
dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak
rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan
isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun
sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula
dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong
gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi
dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai
pelaksana langsung).
Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon
kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke
tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang
dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi
bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan
oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari
diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup
diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi
pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke
hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Acuan
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala Pati,kala tattwa,
Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati disebutkan bahwa potong
gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu
manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal
dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.Lontar Kala
tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma
tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh
karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat
bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa
Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa
Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa
Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian
Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya
sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk
manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam suami
istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh
dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk
wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia
14 tahun.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati
dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah
enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi
itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri
manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada
(mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak
terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap
orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa
agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala
Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia
yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di
kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci
para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun
diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau
disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si
anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggih
ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan
mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya
untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan
merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya
peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa
remaja.
3. Naik ke bale tempat
mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing
keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon
kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol
kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air
kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan
mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong
kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal
dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi
adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang
yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada
ajaran agama Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang
baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut
adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain
putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa
Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang
pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri
terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa
yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi
peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai
simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang
menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau
norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu
meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis
sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan
diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas,
disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
7. Natab
banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan
melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung
makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada
dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna
lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah
memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak
terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan
di masa datang.
Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau mepandes.Istilah
lainnya yang digunakan untuk Upacara ini di Bali adalah mesangih.
12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah
upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa
kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana
1. Segehan cacahan
warna lima.
2. Api takep (api yang
dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air
tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/
pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar
kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri
dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang
berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri
dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih
hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat
dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat
setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta /
Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum upacara
natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan
maprayascita.
2. Kemudian mempelai
mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta
dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita
disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara
terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi
Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci
yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan
tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan
keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian
secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya
mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung
jawab bersama.
- Penentuan status
kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat
(garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis
Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin
nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai
Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini
dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga)
dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat
Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan
membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul
tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan
kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali
berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai
perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat
dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas
tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong
dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri
dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya
digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai
benang tersebut putus.
3. Makna Kematian dan
Upacaranya
Ngaben merupakan salah satu upacara
yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya
(upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal
dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian,
yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata
menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2,
yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal
dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa
ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti
upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara
Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan
jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini
dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang
tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang
persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga
mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di
balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu
untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan
dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak
keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti
membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan
pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan
kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara
ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan
untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan
sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat
desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan
maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara
Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan
jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal,
seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak
ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu
cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari
atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal
gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan
tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian
menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang
Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan
Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian
upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun
badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi
perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a.
Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah:
unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur
udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu
tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan
simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar