Kamis, 28 Mei 2015

Makalah Refisi Kelompok 2



                                   AJARAN HINDU DAN DHARMA TENTANG KETUHANAN
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah
“HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA”
Dosen Pembimbing : Siti Nadroh,MA
 





Disusun Oleh :
Kelompok 2 Perbandingan Agama IV B
SITI KUSNIYATUS SAYIDAH (1113032100074)
MUHAMMAD NAJIBUDDIN (1113032100067)
ABDUL ROSID (1113032100082)
AGUNG SAPUTRA (11130321000)


                                                PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
                                                               PENDAHULUAN

Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia). Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai. Dalam agama Hindu, hanya ada satu Allah yang di puja melalui berbagai bentuk dan cara. Allah yang satu ini disebut Brahman. Brahman adalah roh yang paling tinggi , diluar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Brahman dapat dijumpai diseluruh alam semesta. Dia di atas segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan hakikat, rahasia, hakikat suka cita, dan sang sejati). Selain Allah, orang Hindu juga mempercayai adanya para dewa, yang dihormati dan disembah oleh mereka. Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi) (sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.








A.              Konsep Tuhan/Dewa
Dalam agama Hindu Tuhan merupakan asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk dewa-dewa dan yang lainnya. Tuhan merupakan prima causa yang adanya bersifat mutlak karena harus ada sebagai asal atau sumber atas semua yang ada. Tanpa ada Tuhan tidak ada ciptaan ini. Kata ini juga mencakup pengertian materi dan non materi. Semacam definisi yang kita jumpai didalam kitab suci mengemukakan bahwa sifat sebenarnya daripada Tuhan adalah ”SATYA- PENGETAHUAN- TIDAK TERBATAS” yang diucapkan dalam satu kerangka MANTRA kepada BRAHMAN (Tuhan) sebagai berikut :
SAT CITTA ANANDA BRAHMAN = (sesungguhnya) Tuhan adalah KEBENARAN-PENGETAHUAN-TAK TERBATAS. Dalam ilmu mantra adagium itu merupakan semacam definisi yang tetap dipakai. Hanya sebagai mantra ditambahkan pranawa ongkara didepannya, sehingga akan terbaca “Om, Tat Sat Citta Ananda Brahma” adapun pranawa omkara atau Ongkara adalah kata OM.[1] Dalam agama Hindu, hanya ada satu Allah yang di puja melalui berbagai bentuk dan cara Tuhan yang satu ini disebut Brahman. Brahman adalah roh yang paling tinggi , diluar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Brahman dapat dijumpai diseluruh alam semesta. Dia di atas segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan hakikat, rahasia, hakikat suka cita, dan sang sejati). Selain Allah, orang Hindu juga mempercayai adanya para dewa, yang dihormati dan disembah oleh mereka. Konsep agama hindu mengenai ketuhanan dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: Monisme (paham yang beranggapan bahwa semua kehidupan adalah zat); Panteisme (paham yang beranggapan bahwa semua kehidupan bersifat ketuhanan); Panenteisme (paham yang beranggapan bahwa Tuhan adalah ciptaan jiwa dalam suatu tubuh); Animisme (paham yang menganggap Tuhan adalah dewa-dewa yang hidup dalam objek: bukan manusia, pohon, batu, atau binatang); Honoteisme (paham yang percaya kepada satu dewa yang dipuja dalam banyak keberadaan); dan Monoteisme (paham yang bercaya hanya kepada satu Tuhan).[2]



B.     TRIMURTI
Secara luas, Hindu dapat dikatakan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Kelompok Siva, Kelompok Sakta atau mereka yang memuja sakti pendamping Siva dan Vaisna atau mereka yang memuja visnu. Namun theologi Hindu popular yang berakar dalam kitab suci kuno menambahkan devata penting lainnya yaitu Brahma. Ketiganya ini Brahma,visnu,dan siva bersama-sama membentuk trimurti (trinitas) Hindu. Brahma menciptakan dunia, Visnu memeliharanya dan Siva memusnahkannya. Bila dunia merupakan suatu mitos seperti pernyataan dari beberapa bentuk ekstrim dari filsafat Advaita Vedanta, maka tak akan ada theologi sehingga masalah theologis juga tak kan akan ada.[3] Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi) (sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.
      Trimurti terdiri dari 3 yaitu:
      Dewa Brahma
       Fungsi: Pencipta / Utpathi
       Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan
       Senjata: Busur
       Dewa Wisnu
       Fungsi: Pemelihara / Sthiti
       Sakti: Dewi Laksmi atau Sri
       Senjata: Cakram
       Dewa Siwa
       Fungsi: Penghancur / Pralina
    Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati
       Senjata: Trisula
       Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM   yang dibaca "OM" ( ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.[4]
C.     SEMBAHYANG
 Sebagai umat manusia yang beragama yang menjunjung tinggi keagamaan dan kemahakuasaan Tuhan, sepatutnya kita menyadari bahwa seseungguhnya dalam diri kita terdapat atman atau jiwa yang merupakan percikan sinar suci Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan yang maha esa. Tanpa adanya atman dalam diri kita, pastilah kita tidak bisa hidup. Oleh karena itu haruslah disadari bahwa kita sebenarnya mempunyai hutang kepada Tuhan yang maha agung. Mereka yang menyadari adanya hutang termaksud diatas tentunya perlu dan patut membayar kembali hutang tersebut. Cara paling mudah untuk membayar kembali hutang itu adalah dengan selalu ingat, selalu sujud dan bakti kepada Tuhan, selalu mengagungkan kekuasaan dan kebesaran-Nya. Semua ini dapat direalisasikan dengan cara bersembahyang. Dengan bersembahyang, umat hindu bukan saja akan dapat membayar kembali hutangnya, tetapi juga dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, seraya menyerahkan diri secara tulus dan ikhlas kepada kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dengan bersembahyang umat manusia akan menjadi lebih tenang, lebih tentram dan bahkan merasa damai dihati. Dengan melaksanakan sembah sujud dan bakti dengan tulus dan ikhlas secara berkesinambungan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, kitapun akan memperoleh tuntunan, pertologan dan perlindungan-Nya.
Manfa’at Sembahyang:
Dalam rangka usaha untuk melaksanakan pembinaan diri, berikut disampaikan dengan lebih spesifik dan rinci manfa’at bersembahyang:
a.       Sembahyang dapat menunjukkan rasa keikhlasan diri. Dengan tekun sembahyang, seseorang sebenarnya telah dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Mereka yang rajin bersembahyang akan menerima semua coba’an dan ujian Tuhan secara tulus dan ikhlas.
b.      Sembahyang yang dapat meningkatkan rasa aman dan menumbuhkan ketentraman jiwa. Mereka yang rajin bersembahyang akan selalu merasa dekat dengan Tuhan mereka juga akan selalu merasa ditolong dan dilindungi oleh-Nya. Karena itu mereka akan selalu merasa aman dan tentram.
c.       Dengan bersembahyang, maka diri kita tidak akan diperbudak lagi oleh materi atau harta benda. Mereka yang rajin bersembahyang akan lebih mudah mengendalikan dirinya, lebih mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka bisa memilih dan memilah mana benda yang benar-benar bermanfa’at dan mana yang dapat menyengsarakannya.
d.      Dengan rajin bersembahyang, maka rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama dan dirinya sendiri akan menjadi lebih meningkat. Orang yang rajin bersembahyang akan semakin besar rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya maupun terhadap orang lain.
e.       Dengan bersembahyang, maka secara tidak disadari alam semesta inipun akan menjadi lebih lestari. Sembahyang memerlukan sarana seperti bunga, buah-buahan, daun-daunan dan sebagainya. Ini akan menyebabkan seseorang menjadi tertarik untuk menanam dan memelihara pohon-pohonan, sehingga alam akan menjadi semakin terpelihara.
f.       Sembahyang dapat pula memelihara kesehatan seseorang. Dengan melakukan asana atau sikap duduk padmasana., dimana tulang punggung, leher dan kepala harus tegak lurus (tidak membungkuk), kemudian dengan pranayama atau pengaturan nafas dengan sikap batin yang hening, tenang dan suci, akan menjadikan tubuh seseorang semakin sehat.[5]
Salah satu ciri orang beragama adalah melakukan pemujaan pada Tuhan. Bagi umat Hindu di Bali pemujaan itu disebut sembahyang. Dalam agama Hindu mengenal dua sembahyang yaitu sembahyang sendiri yang disebut Ekanta dan sembahyang dengan cara bersama-sama atau berkelompok disebut Samkirtanam.[6]
Dalam melaksanakan persembahyangan umat Hindu diwajibakan mempergunakan sarana tertentu sebagai persembahan, serta sujud dan bhaktinya kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Ada dua acuan utama yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan sarana persembahyangan termaksud. Acuan pertama adalah Bhagavadgita Bab IX Sloka 26 yang berbunyi : “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bahkty-upahrtam asnami prayatatmanah”
Artinya :
Siapapun yang dengan tulus ikhlas mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan atau air yang disampaikan dengan cinta kasih dan hati yang suci, aku terima.
          Sikap badan ketika bersembahyang : Sebelum melaksanakan sembahyang, kita harus bersikap Asucilaksana yakni mensucikan diri dengan tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak baik, tercela ataupun perilaku tidak terpuji lainya disamping itu badan atau tubuh, fikiran dan jiwa kita pun harus benar-benar suci, bersih dan hening. Tubuh dapat dibersihkan dengan air (mandi). Sesudah itu pergunakanlah pakaian yang bersih. Kemudian fikiran dapat disucikan dengan cara melaksanakan ajaran agama, selalu memikirkan hal-hal yang baik dan benar. Selanjutnya jiwa dapat disucikan dengan mengikuti pelajaran spiritual, tapa brata dan atau mempelajari pengetahuan tentang kebenaran.
Sikap badan atau asana pada waktu bersembahyang dapat diatur seperti dibawah ini :
1.      Dengan cara duduk bersila (padmasana), untuk laki-laki
2.      Dengan cara duduk bersimpuh (Bajrasana), untuk wanita
3.      Dengan cara berdiri (padasana) dengan memperhatikan situasi atau kondisi setempat.[7]
Sikap Batin :
Dalam bersembahyang kita hendaknya selalu berusaha untuk menjaga sikap batin sebagaimana diuraikan di bawah ini:
1. Bersikap tenang dengan hati yang suci.
2. Percaya sepenuhnya terhadap adanya Tuhan.
3. Penyerahan diri secara total dan tulus ikhlas kepada-Nya.
4. Sembahyang hendaknya tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh mukjizat atau kesaktian.
Sikap Tangan :
1. Bersembahyang kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, kedua tangan dicakupkan diatas dahi, sehingga ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun.
2. Bersembahyang kehadapan para dewa (Dewata), cakupan jari tangan ditempatkan di tengah-tengah dahi dengan ujung kedua ibu jarii tangan berada di antara kedua kening.
3. Bersembahyang kehadapan pitara, cakupan jari tangan ditempatkan di ujung hidung, dengan kedua ujung ibu jari tangan menyentuh hidung.
4. Bersembahyang kehadapan Bhuta, cakupan tangan diletakkan di hulu hati, dengan ujung jari tangan mengarah ke bawah.
Sembah puyung adalah sembahyang kehadapan Tuhan, jadi mengikuti cara    butir satu diatas yaitu berupa tangan dicakupkan diatas dahi sehingga ujung jari berada diatas ubun-ubun.[8]
                          AJARAN BUDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN

A.    PERKEMBANGAN KONSEP KETUHANAN
Buddha telah mencapai pencerahan sempurna, dengan demikian buddha menghayati dan memahami ketuhanan dengan sempurna pula. Budha bersabda bahwa ada yang tidak terlahir, yang tidak terjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak (Udana VIII:3). Yang mutlak itu ESA adanya, disebut asamkhaata-Dhamma, Dhamma yang absolut, yang tak terkondinisi. Dengan adanya yang mutlak yang tak terkondisi, maka manusia yang terkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan mutlak dari lingkaran kehidupan-kematian (samsara). Ketuhanan yang Maha Esa dapat dihayati melalui hukum-hukum Damma yang berlaku dialam semesta. Hal ini ibarat udara. Apakah udara itu ada? Ya, tentu saja. Akan tetapi, mana udara itu?
 Bisakah dipegang? Bisakah dilihat? Bisakah didengar? Tentu saja tidak. Walau demikian, kita bisa memastikan bahwa udara itu ada dari gejala-gejalanya, seperti nyiur yang melambai, asap yang bergerak, debu yang berterbangan, dan lain-lain.
Dengan adanya hukum-hukum damma, unsur imanen dari ketuhanan yang Maha Esa tidak lenyap sama sekali, namun ajaran buddha menekankan unsur transenden dari ketuhanan yang Maha Esa. Semua yang bersifat transenden adalah tidak terkonsepkan. Mereka harus dipahami secara langsung (intuitif) melalui pencerahan, bukan melalui konsep. Akan tetapi, hal itu sulit dilakukan. Karena kesulitan itu, ada yang berusaha memahami dengan pendekatan konseptual. Tidak terelakan, ketika manusia berbicara mengenai konsep ketuhanan, diperlukanlah nama. Salah satu nama yang digunakan dalam ajaran Buddha “Adi Buddha”. Dalam kitab-kitab Buddhis berbahasa kawi jawa kuno, nama-nama lain dari adi Budha adalah Advaya, Diwarupa, dan Mahavairocana. Sebutan lain Adi Buddha adalah Vajradhara (Tibet-Kargyu dan gelug), Samantabhadra (Tibet-Nyingma), dan Adinatha (Nepal). Adi buddha merupakan realitas absolut atau kebenaran mutlak, bukan suatu personifikasi. Adi buddha tak lain adalah DammaKaya, Tubuh Dhamma yang absolut. Dhammakaya bersifat kekal meliputi segalanya, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ada dengan sendirinya, bebas dari pasangan yang berlawanan, bebas dari pertalian sebab akibat.
Konsep ketuhanan menurut ajaran Buddha ini perlu dipahami dengan benar, mengingat masih banyak yang mencampuradukkan dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain.[9] Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai. Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
Buddha Trasenden :
Bagi mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan.
Thuben chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. [10]

Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi buddha.[11]
 Trikaya :
Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia. Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis adalah wujud nirmanakaya.
B.     KONSEP ADI BUDHA
Catatan sejarah agama Budha Indonesia, dimulai pada Tahun 414 M, Sewaktu kunjunagan seorang biksu dari Tiongkok, bernama FA HSIEN, menurut bikhhu tersebut, bahwa agama. buddha telah berkembang di Pulau Jawa. Kedatangan bikku itu disusul pula dengan kedatangan seorang bikku berdarah bangsawan dari kasmir, bernama Gunawarman.
Istilah ADHI BUDDHA digunakan untuk menamakan sumber kebudaan dan istilah ini ditemukan dipulau Jawa (Indonesia) maupun di Nepal dan Tibet. Istilah ini dianggap berasal dari agama Buddha Mahayana di benggala. Di nepal disamping istilah adi buddha juga dikenal istilah adinata yang berarti pelindung utama atau svayambhulokanatha yang berarti pelindung jagat yang tidak
dilahirkan bukti pertama konsep Adi Buddha ini terdapat dalam Kitab “NAMA SANGITI” hasil karya Bikhhu Indonesia yang bernama Chandrakirti. Sang Hyang Adi Buddha adalah Tuhan yang Maha Esa, karena menurut agama Buddha Sang Hyang Adi Buddha itu Maha Esa, Maha Ghaib, Maha Suci, Maha Bijaksana, tidak berawal dan tidak berakhir, ada dimana-mana, tidak terbatas, tidak dilahirkan, dan tidak dapat difikirkan oleh akal fikiran manusia yang serba terbatas.
Kemahakuasaan Sang Hyang Adi Buddha dimanifestasikan kedalam hukumnya yang disebut Hukum kesunyataan. Hukum kesunyataan ini adalah hukum Tuhan yang Maha esa, yang kekal abadi, yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Semua yang tercipta tunduk kepada hukum kesunyataan ini, dan tidak ada seorangpun dan tidak ada seorangpun yang dapat membebaskan dirinya dari berlakunya hukum kesunyataan ini. Melalui hukum kesunyataan inilah Tuhan yang Maha Esa memperkenalkan kekuasaanya dan tidak ada yang mampu menentang hukum kesunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[12]
Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”. Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.[13]
Beriman itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak melepaskan tanggung jawab.
Kebijakan orang yang memiliki keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak lainnya.
Pendekatan kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.[14]


C.    Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa.
 Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.[15]

Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.[16]



Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah. Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta.[17]
 Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7).
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.
Ø  Parrita dan Mantra
Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parritayang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan.
Selanjutnya adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata.[18]
Konsep mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan.
Persembahan
Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawanya pergi.
Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.[19]






                                                             Kesimpulan
Dalam Agama samawi (Yahudi, Islam, Kristen) TUHAN dipahami sebagai suatu sosok PRIBADI Maha pencipta , maha kuasa yang mengatasi alam semesta yang menciptakan dan berkuasa atas alam semesta beserta manusia didalamnya.
Dalam Agama Hindu TUHAN dipahami sebagai ACINTYA (yang tak terpikirkan). Acintya dipahami sebagai kekosongan darimana alam semesta beserta semua dewa (Brahma, Wisnu, Siwa) berasal bukan diciptakan dengan kata lain, Acintya beremanasi menghasilkan seluruh alam semesta ini.
Dhamma/Dharma itu sendiri adalah Ketuhanan yang maha Esa dalam ajaran Buddha. “Barang siapa melihat Damma ia melihat aku dan barang siapa melihat aku dia melihat Dhamma”. (Buddha Gautama). Dhamma yang disebarkan oleh Buddha Gautama dan direalisasi oleh siswa-siswa beliau yang telah bebas/suci, itulah yang menuntun dan melindungi umat Buddha dalam hidup didunia.












                                                  Daftar Pustaka
·         Bhikku Jinadhammo Mahatera. Jadilah Pelita Ajaran Universal Buddha. Sejuta Pelita Sejuta Harapan, Panitia 50 Tahun MBI candi borobudur, 23 Juli 2005
·         Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Sembahyang menurut Hindu, (Paramita, Surabaya:2006)
·         Drs. K.M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Paramitha, Surabaya: 2004)
·         Harshananda Svami. Dewa Dewi Hindu. Surabaya, Paramita 2007.
·         Majelis Budayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma.  Jakarta 7 Agustus 1980
·         Pudja Gede, MA, SH. Theologi Hindu(Brahma Widya). Mayasari-Jakarta. 1977
·         Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995
·         Tony Tedjo, Mengenal Agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)
·         (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Trimurti)



[1] Pudja Gede, MA, SH. Theologi Hindu(Brahma Widya). Mayasari-Jakarta. 1977

[2] (Sumber: Tony Tedjo, Mengenal Agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)

[3] Harshananda Svami. Dewa Dewi Hindu. Surabaya, Paramita 2007.
[5] Drs. K. M. Suhardana. Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya, Paramita 2004.
[6] Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, Sembahyang menurut Hindu, (Paramita, Surabaya:2006)

[7] Drs. K. M. Suhardana. Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya, Paramita 2004
[8] Sumber: Drs. K.M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Paramitha, Surabaya: 2004)

[9] Bhikku Jinadhammo Mahatera. Jadilah Pelita Ajaran Universal Buddha. Sejuta Pelita Sejuta Harapan, Panitia 50 Tahun MBI candi borobudur, 23 Juli 2005
[10] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995
[11] Tony Tedjo, Mengenal Agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)

[12] Majelis Budayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma.  Jakarta 7 Agustus 1980
[13] Majelis Budayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma.  Jakarta 7 Agustus 1980
[14] Bhikku Jinadhammo Mahatera. Jadilah Pelita Ajaran Universal Buddha. Sejuta Pelita Sejuta Harapan, Panitia 50 Tahun MBI candi borobudur, 23 Juli 2005

[15] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995

[16] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995

[19] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995